JAKARTA,ONLINE.KASUS.COM – Pemerintahan Prabowo Subianto baru seumur jagung, tetapi sudah dihadapkan pada berbagai masalah yang melibatkan para pembantunya. Seharusnya, beban berat yang dipikul Presiden bisa lebih ringan jika menteri-menterinya bekerja dengan baik, bersinergi kuat, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Beberapa pejabat di kabinet justru menampilkan mentalitas dan moral buruk yang tidak mencerminkan kepantasan sebagai penyelenggara negara. Seperti kata pepatah lama, “Lebih baik kurang pintar dalam berdagang daripada pintar tetapi tidak bermoral. Apa manfaatnya bagi orang lain?”
Kasus demi kasus bermunculan. Agus Miftah tersandung masalah karena kelancangan mulutnya. Raffi Ahmad ceroboh dengan iring-iringan patwal mobil RI 37. Menristekdikti dihantam isu arogansi dan pelecehan martabat bawahan.
Kini, giliran Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi, Yandri Santosa, yang blunder dengan melecehkan wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Menteri Desa Dicap Tolol, Presiden Harus Bertindak
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menilai pernyataan Yandri Santosa sebagai tindakan bodoh dan tidak beradab.
“Menteri Desa itu benar-benar tolol! LSM dan wartawan lahir dari perjuangan rakyat, keberadaannya sah secara konstitusi. Menihilkan peran mereka adalah pemikiran konyol, dungu, dan berpotensi pidana,” tegas Wilson, Minggu, 2 Februari 2025.
Wilson menambahkan bahwa pelecehan terhadap wartawan bukan hal baru di negeri ini. Para pejabat dan aparat kerap memperlakukan jurnalis secara diskriminatif, bahkan menggunakan istilah seperti “wartawan bodrex” dan “wartawan abal-abal” untuk merendahkan profesi mereka. Tujuan akhirnya jelas: menghambat kontrol sosial terhadap kinerja pejabat yang mengelola anggaran negara, agar korupsi yang merajalela tetap tertutup rapat.
“Menghambat kerja wartawan, dengan dalih apa pun, adalah pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ancaman hukumnya dua tahun penjara dan denda Rp500 juta,” jelas Wilson.
Menurutnya, seorang menteri yang melakukan pelanggaran pidana adalah aib besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto.
“Uang rakyat bukan untuk menggaji pejabat tolol seperti Yandri. Jika tidak segera dicopot, dia hanya akan menjadi beban bagi Prabowo, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi,” kecam Wilson.
Dewan Pers Dinilai Jadi Batu Sandungan, Harus Dibubarkan?
Wilson juga menyoroti peran Dewan Pers yang menurutnya diskriminatif dan justru menghambat kebebasan pers.
“Dewan Pecundang Pers harus dibubarkan! Tidak ada kontribusinya terhadap demokrasi. Justru menjadi alat untuk membatasi kebebasan pers dan menghambat peran jurnalis sebagai pengawas kekuasaan,” ujarnya tegas.
Ia menegaskan bahwa di era digital saat ini, setiap warga negara adalah jurnalis.
“Di zaman sekarang, every citizen is journalist. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk memperoleh dan menyebarkan informasi. Negara fasis saja yang masih mempertahankan lembaga seperti Dewan Pers,” pungkasnya.
Kini, semua mata tertuju pada Presiden Prabowo. Apakah ia akan segera mencopot Yandri Santosa dan menindak tegas menteri-menteri yang membuat blunder? Jika tidak, kepercayaan publik terhadap pemerintahannya bisa tergerus sejak dini.