BPK Temukan Pengelolaan Piutang Retribusi Tanah Sawah di BPKPD Soppeng Belum Memadai, Piutang Capai Rp1,4 Miliar

Soppeng, onlinekasus.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan menemukan bahwa pengelolaan piutang retribusi tanah sawah pada Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kabupaten Soppeng masih belum memadai. Hal ini terungkap dalam hasil audit BPK Tahun 2024.

Pemerintah Kabupaten Soppeng menyajikan total Piutang Retribusi sebesar Rp2.974.549.418,00. Saldo piutang tersebut mengalami kenaikan cukup signifikan, yaitu Rp820.629.518,00 atau 38,10 persen bila dibandingkan dengan saldo per 31 Desember 2023 sebesar Rp2.153.919.900,00.

Dari jumlah tersebut, piutang terbesar bersumber dari retribusi sewa tanah sawah yang tercatat sebesar Rp1.409.387.800,00.

Rincian lebih lanjut disampaikan pada Tabel Mutasi Piutang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (PKD), di mana piutang per 31 Desember 2024 menunjukkan peningkatan terutama pada piutang tahun 2024 sebesar Rp763.399.800,00, dengan mutasi penambahan Rp909.186.800,00.
Sementara pada tahun 2019 dan 2021 terdapat pengurangan piutang masing-masing Rp4.400.000,00 dan Rp3.750.000,00 karena realisasi pembayaran.

Temuan BPK: Banyak Prosedur Tidak Sesuai Aturan

Dalam audit tersebut, BPK mengungkap sejumlah kelemahan dalam proses administrasi dan penagihan retribusi sebagai berikut:

1. Perjanjian sewa tanah tidak sesuai dengan Peraturan Bupati Soppeng Nomor 90 Tahun 2019;

2. Penetapan tarif berpotensi menyalahi aturan, karena terdapat pertentangan antara Perbup Nomor 6 Tahun 2019 dan Perbup Nomor 90 Tahun 2019, serta tidak didukung dokumen resmi penetapan tarif;

3. Penetapan penyewa tanah sawah tidak melalui proses seleksi, melainkan hanya berdasarkan usulan Kepala UPTD;

4. Bidang Pendapatan tidak menerbitkan SKRD (Surat Ketetapan Retribusi Daerah), sehingga dokumen legal penagihan tidak tersedia.

BPK menilai kondisi tersebut berpotensi menimbulkan:

terhambatnya penagihan piutang retribusi,

rendahnya kepastian pendapatan asli daerah (PAD),

serta meningkatnya risiko piutang tidak tertagih.

Redaksi: onlinekasus.com